Senin, 25 Februari 2008

Jakarta Timur (DKI Jakarta)

Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 60 12’ LS dan 1060 48’ Bujur Timur. Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan SK. Gubernur Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661,52 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2, terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu. Di sebelah utara membentang pantai barat sampai timur sepanjang 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal, sementara sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah Propinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Propinsi Banten sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Administarasi DKI Jakarta terbagi lima kota yaitu Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Jumlah kecamatan di Propinsi DKI Jakarta berjumlah 43 kecamatan dan terbagi menjadi 265 kelurahan. Luas lahan Propinsi DKI Jakarta 66.152 Ha. Kota yang paling luas adalah Jakarta Timur dengan luas 18.773 Ha (28,38%), sedangkan luas administrasi kota yang paling kecil adalah Jakarta Pusat 4.790 ha (7,24% dari luas total Propinsi). Luas Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Jakarta Selatan 145.73; Jakarta Timur 187.73; Jakarta Pusat 47.90; Jakarta Barat 126.15; dan Jakarta Utara 154.01.

Keadaan iklim Jakarta secara umum panas dengan suhu maksimum udara berkisar 30,80 C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 26,10 pada malam hari. Curah hujan sepanjang tahun 2001 mencapai 1.599 mm dengan tingkat kelembaban udara mencapai 77,1 % dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,8 m/detik. Kondisi hidrologi untuk air permukaan yaitu sungai terdapat sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Daerah di sebelah selatan dan timur Jakarta terdapat rawa/situ dengan total luas mencapai 96,5 Ha. Kedua wilayah ini cocok digunakan sebagai daerah resapan air, dan iklimnya yang lebih sejuk ideal sebagai wilayah permukiman penduduk.

Jumlah keluarga miskin, berdasarkan peruntukan jatah beras rumah tangga miskin (Raskin) Tahun 2007 meningkat data raskin pada 2006, yakni dari 26.618 keluarga menjadi 39.128 keluarga. DKI Jakarta merupakan propinsi di Indonesia yang paling besar memberikan dana bagi bidang pendidikan dalam APBD. Bila pada tahun 2005 lalu dana untuk pendidikan dalam APBD dialokasikan sebesar 20 persen, maka pada tahun 2006 ini meningkat menjadi 21 persen. Untuk guru di Jakarta mendapatkan uang kesejahteraan sebesar Rp 2 juta per orang setiap bulannya. Namun, dari ribuan guru sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), yang jumlahnya sekitar 60 persen dari 13.000 total guru SD dan SMP di Jakarta Timur, yang belum mempunyai gelar sarjana akan disekolahkan agar mendapat gelar sarjana atau S-1 (Strata Satu). Rendahnya kualifikasi guru disebabkan banyak faktor, antara lain terhentinya program peningkatan kompetensi guru pada tahun 2000.

Kecamatan Pulogadung termasuk daerah pemukiman dan pertokoan yang terletak di tengah perkotaan metropolitan. Letaknya yang cukup strategis terlebih ditunjang dengan sarana transportasi dua terminal bus, yaitu terminal Pulogadung dan Rawamangun. Secara demografi, jumlah penduduk wilayah Kecamatan Pulogadung adalah 279.813 jiwa dengan kepadatan penduduk 177.352 jiwa/ha dengan perincian 145.34 nm6 jiwa laki-laki, 134.467 jiwa perempuan dan jumlah KK 66.205. terdapat 7 Kelurahan di wilayah ini yaitu Kel. Kayu Putih, Pulogadung, Rawamangun, Jati, Jatinegara Kaum, Pisangan Timur, dan Cipinang.

Dari 65 kelurahan di Jakarta Timur terdapat 34 kelurahan yang masuk dalam zona merah DBD, sementara sisanya yaitu 31 kelurahan termasuk zona kuning. Yang masuk dalam kelurahan merah apabila dalam 2 atau 3 minggu pengamatan terdapat minimal 3 kasus DBD di setiap minggunya atau ada kasus meninggal dunia. Sementara untuk kelurahan kuning apabila dalam 3 minggu pengamatan terdapat minimal 1 kasus DBD. Di Jakarta Timur tidak ada kelurahan yang bebas DBD atau zona hijau, dalam 3 minggu pengamatan tidak terdapat kasus DBD.

Demografi

Pada tingkat abstraksi yang tinggi, demografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu teori Malthus dan Boserup. Secara sederhana teori Malthus berpendapat bahwa sarana subsistensi menentukan tingkat pertumbuhan suatu penduduk, sedangkan teori Boserup mengatakan bahwa pertambahan penduduk disebabkan pertumbuhan ekonomi, atau peningkatan penyediaan sarana subsistensi per kapita. Secara umum, untuk menjelaskan pertumbuhan penduduk pada tahun 2000-an di Indonesia kedua teori tersebut dapat digunakan. Gejala umumnya, dapat diperkirakan sebagai berikut :

Tingkat pertumbuhan yang tinggi dapat diduga akan terjadi kalau suatu penurunan angka kematian secara besar-besaran tidak diikuti penurunan angka kelahiran yang sebanding dengan itu;

Angka kematian akan turun kalau tingkat gizi dan standar perumahan serta pengaturan air mengalami peningkatan, termasuk penyakit menular dapat dibasmi;

Angka kelahiran diperkirakan akan tetap stabil kalau pendapatan perkapita rendah. Pada tingkat pendapatan yang tinggi, angka kematian memungkinkan menurun.

Awal abad ke-21 di Indonesia yang berbarengan dengan krisis ekonomi, yang disertai dengan krisis multidimensi menjadikan bertambahnya jumlah penduduk miskin dan kompleksitas permasalahan sosial. Situasi ini menjadikan adanya pola angka kelahiran atau angka kematian pada angka-angka yang berbeda tajam dengan masa-masa sebelumnya, yang tentu saja kondisi ini dapat menjelaskan mengapa angka-angka demografi pada tahun 2000-an mencapai angka tertentu. Bahkan, angka-angka itu di luar perkiraan (BPS, 2003).

Menurut angka yang dikeluarkan BPS tahun 2003, jumlah jumlah pengangguran menempati urutan pertama. Jumlah penganguran ini dinamis, artinya jumlahnya naik-turun, hal ini terjadi karena di wilayah Jakarta Timur terdapat pusat industri, perdagangan, dan perkantoran. Sentral-sentral ekonomi yang banyak ini menjadikan Jakarta Timur menjadi tempat tujuan pendatang untuk mengadu nasib di ibukota. Dan, PHK buruh yang masih sering terjadi pada masa krisis yang berkepanjangan ini menjadikan jumlah pengangguran bertambah. Sebaliknya, dibukanya tempat usaha baru mengakibatkan jumlah penggangur menjadi berkurang. Jumlah angka pengagguran didapatkan dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2003. Sementara itu, berdasarkan angka yang dikeluarkan BPS tahun 2005, jumlah penduduk mengalami peningkatan besar dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,21%. Sedangkan jumlah pengangguran (pencari kerja) membengkak menjadi 179.881 orang.

Berdasarkan umur, jumlah penduduk di Kelurahan Kayu Putih usia produktif menempati urutan pertama (Laporan Tahun Kerja Kelurahan Kayu Putih 2006). Pun demikian dengan usia sekolah yang jumlahnya sangat besar. Hal ini menjelaskan bahwa pendidikan untuk bekal masa depan usia produktif sangat penting, apalagi hidup di Jakarta yang menjadi kota megapolis. Sebuah kata yang populer pada awal 1990-an, dan kemudian pertengahan tahun 2000-an dipopulerkan oleh gubernur Jakarta. Konsekuensi kota megapolis adalah mendetailkan tata ruang menjadi perencanaan regional, karena penduduknya yang tidak sedikit lagi, 10-15 juta. Dan, karena pendidikan formal semakin mahal, maka pendidikan luar sekolah perlu dan sangat dibutuhkan masyarakat. Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin, jumlah laki-laki pada usia produktif lebih banyak dari pada jumlah perempuan, termasuk jumlah perempuan usia sekolah lebih sedikit. Sedangkan jumlah anak perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.

Dari segi agama yang dianut, penduduk di Kelurahan Kayu Putih beragam. Islam berjumlah 37.425 (65,55%), Kristen Protestan 10.223 (15,01%), Kristen Katolik 5.123 (9,54%), Hindu 213 (0,46%) dan Budha 483 (0.9%) (Laporan Tahun Kerja Kelurahan Kayu Putih 2006). Jakarta dengan luas kurang lebih sama dengan pulau Singapura, dengan jumlah penduduk tiga kali lipatnya kondisi seperti ini rawan konflik. Sehingga, kondisi urban yang berkepadatan tinggi dan keyakinan yang beragam ini membutuhkan banyaknya aturan, kontrak sosial, disiplin, dan tatakrama untuk menata potensi konflik. Walau tidak ada konflik agama di kelurahan ini, menurut pegawai kelurahan setempat upaya prventif untuk mengharmoniskan warga telah dilakukan beberapa kegiatan yang memahamkan arti penting kerukunan, baik yang diselenggarakan warga secara mandiri maupun pihak kelurahan. Lebih lanjut, aparat kelurahan yang bertugas di seksi pemerintahan itu sangat mendukung kegiatan-kegiatan yang banyak melibatkan warga, tanpa melihat suku, ras, atapun agama.

Dalam melaksanakan kegiatan keagamaan, masyarakat Kelurahan Kayu Putih memiliki 18 masjid, 15 mushola, dan 11 gereja. Secara umum, di DKI Jakarta jumlah rumah ibadah tiap tahunnya mengalami pertambahan jumlah. Berdasarkan catatan Kanwil Depag tahun 2001, jumlah masjid 2771, jumlah mushola 4.044, jumlah gereja prosestan 791, jumlah gereja katholik 42, jumlah pura 23, dan jumlah vihara 184. Angka-angka tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2004: jumlah masjid 2.900, jumlah mushola 6.050, jumlah gereja prosestan 930, jumlah gereja katholik 40, jumlah pura 18, dan jumlah vihara 236 bangunan.

Sementara itu, di Kelurahan Kayu Putih, jumlah kelompok pengajian yang tergabung dalam majlis taklim ada 20 majlis taklim. Sejak krisis ekonomi 1997, kelompok majilis taklim/pengajian agama Islam di perkotaan kemunculannya bak jamur di musim hujan. Berdasarkan catatan Kanwil Depag DKI Jakarta tahun 2004, pada tahun 2001 jumlah majelis taklim 5.422, tahun 2002 menjadi 5.469, dan tahun 2004 menjadi 6.074. Sepertinya masyarakat sedang gelisah terhadap situasi krisis yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Kesejahteraan

Diukur dari beberapa hasil yang dicapai di berbagai bidang, seperti pendidikan, penurunan tingkat buta huruf dan peningkatan kesehatan, pemerataanya memang nampak. Namun, secara keseluruhan, perkembangan kesejahteraan dan hasil pemerataan selama masa pembangunan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan semata, seperti apa yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru dan diikuti oleh pemerintahan sekarang, belum mencerminkan adanya pemikiran perencanaan yang terintegrasi. Indikasinya, pencapaian di bidang ekonomi justru tidak memperlihatkan kecenderungan pemerataan kesejah-teraan, walaupun pertumbuhan pendapatan dan tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan. Oleh karena itu, indikator bahwa pertumbuhan ekonomi negara naik, maka kesejateraan masyarakat akan naik tidak dapat digunakan. Artinya, tingkat pertumbuhan ekonomi naik belum tentu daya tahan ekonomi masyarakat semakin baik dan kemandirian masyarakat untuk membiayai kebutuhan sosial naik pula.

Untuk itu, dalam penelitian ini pendapatan per kapita dan angka pertumbuhan ekonomi tidak digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di Jakarta. Indikator-indikator yang digunakan di antaranya: akses masyarakat terhadap listrik, matapencaharian, dan akses masyarakat terhadap rumah. Rumah adalah kebutuhan pokok setiap manusia, namun untuk memilkinya tidaklah semudah seperti menghirup udara bebas. Faktor kesejahteraan menjadi penentu utama seseorang untuk mengakses rumah, apalagi di Jakarta lahan sangat mahal. Dengan pertimbangan ini, untuk melihat kesejahteraan masyarakat rumah dapat dijadikan indikator. Dengan menggunakan data dari BPS, angka yang tertera di dalamnya paling tidak akan dapat kita ketahui tingkat kesejahteraan masyarakat (BPS, 2003).

Tempat tinggal adalah titik awal dan titik akhir, dari sini semua kegiatan masyarakat barawal dan berakhir. Sekarang ini bagi masyarakat kota kebutuhan akan sebuah tempat tinggal adalah mimpi besar. Bahkan, rumah menjadi masalah yang ruwet, karena ledakan jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi memusat ke kota. Oleh karena itu, di Jakarta rumah merupakan barang yang dapat dikonsumsi sesuai dengan kapasitas ekonomi, kesejahteraan yang dimilikinya, dan kondisi ini dapat dijadikan penjelas kesejahteraan masyarakat. Menurut data BPS tahun 2003, di Jakarta Timur jumlah bangunan rumah permanen dan tidak permanen paling banyak se-porvinsi DKI Jakarta. Namun, jumlah bangunan dan keluarga yang tinggal di bantaran kali juga menempati urutan paling banyak, termasuk lokasi bangunan rumah kumuh. Hal ini dapat menjelaskan bahwa di Jakarta Timur kesejateraan masyarakat mampu dan tidak mampu jumlahnya sama banyaknya. Sehingga tak aneh di Jakarta, pemandangan yang kontras antara bangunan orang kaya bersampingan dengan bangunan orang miskin.

Di Jakarta, khususnya Jakarta Timur urbanisasi memang menjadi masalah yang merisaukan. Namun, yang lebih merisaukan adalah proses pemiskinan yang cenderung berjalan tanpa henti, baik di desa dan di kota. Hal ini akan membawa masyarakat akan kesusahan hidup di desa, lalu pindah ke kota tetapi mereka tetap saja miskin. Walaupun demikian kondisinya, kota Jakarta tetap menjadi masa depan masyarakat, kesempitan dan kesempatan dicari di celah-celah gemerlapnya Jakarta. Tak aneh, di Jakarta profesi masyarakat semakin beragam: pegawai negeri/BUMN 2.235, karyawan/swasta 7.357, pedagang 7.760, TNI/Polri 163, buruh 6.288, pensiunan 672, dan pengangguran 3.633 (Laporan Tahun Kerja Kelurahan Kayu Putih 2006). Pengangguran terdiri dari warga yang terkena PHK, yang putus sekolah dan tamatan sekolah yang masih mencari pekerjaan.

Memang seolah kota bukan untuk para pendatang yang miskin, tetapi kota adalah tempat bagi yang berharta dan berkuasa. Kota Jakarta sebagai tempat konsentrasi harta diikuti dengan permukiman penduduk yang berada pada tingkat kemiskinan, sebagian besar mereka bekerja dan memperoleh nafkah dari sektor informal (pedagang asongan, tukang ojek, dll). Pengangguran di kelurahan ini jumlahnya setengah lebih jumlah buruh, dan lebih banyak dari pegawai negeri/BUMN, hal ini menandakan bahwa kesejahteraan masyarakat yang tidak mampu memang banyak. Dan, Kelurahan Kayu Putih adalah salah satu contoh saja kelurahan yang ada di Jakarta, khusunya Kota Jakarta Timur; secara umum kesejahteraan masyarakat di kelurahan Jakarta.

Sebenarnya data di atas belum dapat menjelaskan indikator siapa yang lebih sejahtera. Namun, jika diasumsikan bahwa pegawai negeri/BUMN lebih sejahtera dari buruh, maka dapat dipastikan bahwa jumlah orang yang tidak sejahtera jumlahnya sangat banyak. Asumsi ini didapatkan dari jumlah gaji pokok PNS yang lebih besar dari pada upah minimum buruh di Provinsi DKI Jakarta. Asumsi lainnya, buruh posisinya rentan dengan PHK (menjadi penganggur) sedangkan pegawai PNS/BUMN kecil kemungkinan dipecat.

Pendidikan

Secara umum, kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, termasuk di Kota Jakarta Timur. Menurut hasil survei UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia menduduki peringkat 110 dari 179 negara di dunia; bahkan dua tahun berikutnya (2004) mutunya kian melorot menjadi urutan ke-111 dari 175 negara. Pun dengan kualitas keahlian, yang masih ketinggalan dengan negara berkembang lain.

Kota Jakarta Timur memiliki jumlah SLTP terbanyak, 110.399, baik sekolah negeri maupun swasta. Namun, jumlah siswa SLTP yang putus sekolah pada tahun ajaran 2005/2006 juga terbanyak, 674 siswa. Deretan angka jumlah siswa putus sekolah memang tidak lebih dari 1%, yakni hanya 0,006%. Jumlah anak putus sekolah di SLTP negeri cenderung lebih banyak, daripada di SLTP swasta. Begitu juga dengan siswa SMU & SMKTA, seperti pada tabel 10 dan tabel 11, Jakarta Timur siswanya paling banyak, 65.351 namun angka putus sekolah juga terbanyak, 360, atau 0,005% (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta 2006).

Pendidikan yang Dibutuhkan

Jakarta sebagai kota sudah lama dipandang sebagai pusat kemajuan dan pembangunan. Tampaknya, pandangan dalam segi-segi tertentu kota Jakarta lebih maju dari desa asalnya telah mengakibatkan tidak sedikit warga desa berbondong-bondong ke Jakarta untuk mengadu nasib. Salah satu tempat yang menjadi tempat mengadu nasib adalah di Jakarta Timur, dan Kelurahan Kayu Putih, khususnya. Makanya tak salah, jika dalam laporan tahunan yang dibuat pihak pegawai kelurahan selalu saja ada dinamika perpindahan penduduk (baik keluar atau masuk). Dengan dekatnya dengan akses perdagangan, perkantoran, dan kawasan industri Pulogadung arus urbanisasi selalu ramai di wilayah ini.

Fenomena umum kependudukan di kelurahan ini mengakibatkan banyaknya penduduk yang numpang, tidak menetap. Fenomena umum lainnya, kontrasnya penduduk mapan secara ekonomi dan tidak mapan secara ekonomi di kelurahan ini. Gedung-gedung mewah (Plaza Summericon, perumahan mewah (Pulomas Realestate), boarding school (Sevila) kontras dengan kampung kumuh di pedongkelan. Melihat kondisi yang ada di sekitarnya, N. Sujalmo Waluyo, Sie Pemerintahan Kelurahan Kayu Putih, mengharapkan program pendidikan jarak jauh lebih mengutamakan pendidikan ketrampilan, khususnya bagi para penduduk miskin. Misalnya, Komputer, menjahit, salon, bengkel, berdagang, dll.

Harapan ini sama seperti yang diungkapkan oleh Bp. Martono, staf seksi PLS Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta Timur, bahwa pendidikan yang mengarah pada ketrampilan kerja sangat dibutuhkan warganya. Hal ini karena selama ini yang menyelenggarakan pendidikan ketrampilan adalah lembaga kursus, yang secara ekonomis, seringnya susah diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu, Seksi Pekapontren Kandepag Kotamdya Jakarta Timur Drs. H. Syarifudin, MM, menekankan pendidikan ketrampilan bagi penganggur adalah bengkel. Ia memandang bahwa motor di Jakarta sangat banyak, begitu juga dengan jumlah mobil, sehingga peluang untuk kerja di bidang ini sangat besar, dan ketrampilan mereka tidak mubazir. Selain pula pendidikan agama, agar kriminalitas tidak semakin banyak.

Jika pegawai kelurahan, dinas pendidikan, dan departemen agama Jakarta Timur lebih menkankan pada ketrampilan untuk kaum lelaki, di lingkungan Pesantren Al Kennaniyah yang santrinya adalah putri, lebih menekankan pada pendidikan ketrampilan untuk perempuan. Kyai A. Wahid Maryanto, pengelola pesantren dan madrasah Al-Kenaniyah, menyontohkan ketrampilan yang baik putrinya adalah menjahit, memasak, dan komputer (kelas programer). Di bidang komputer, menurutnya, untuk di Jakarta sudah banyak orang bisa, tetapi untuk kelas programer sangatlah jarang, apalagi yang gratis. Misalnya saja, komputer jaringan, reparasi komputer, membikin dan memperbaiki software dan hardware. Pendapatnya ini dilatarbelakangi pada pengalamannya, ilmu yang pernah ia geluti, di bidang komputer. Sontak saja pendapat kyai ini diamini oleh pengelola yang lain, mantan santrinya, Erika Diana Sudja’ie.

Erika, pengelola pesantren, dan guru bidang komputer, sangat mengharapkan pendidikan komputer kelas programer bagi siswa program pendidikan jarak jauh nantinya. Selain itu, karena komputer mungkin ada yang kurang berminat ia mengharapkan pendidikan ketrampilan lain, khususnya bagi perempuan.

Pembangunan dan modernisasi-industri terus bergulir, kebanyakan narasumber memilih pendidikan praktis (ketrampilan), agar lebih fungsional terhadap pembangunan adalah masuk akal. Pendidikan yang ada untuk program ini diharapkan menghasilkan tenaga-tenaga yang terampil (trainable) dan menjual (marketable) dalam pasar kerja, serta, mungkin, cita-cita tertingginya adalah dapat mengisi teknostruktur dalam masyarakat.

Penyelenggaraan Paket B dan C, serta Lifeskills

Di Jakarta Timur, menurut Kepala Seksi Pekapontren Kandepag Kotamadya Jakarta Timur Drs. H. Syarifudin, MM, telah berlangsung penyelenggaraan paket A dan B di beberapa pesantren. Program kesetaraan Paket A dilaksanakan di Pondok Pesantren Tapak Sunan dan Az Ziyadah; Program kesataraan Paket B diselenggarakan di Pesantren Tapak Sunan, Pesantren Al-Amiria, dan Az Ziyadah. Program ini dimulai pada tahun ajaran 2004/2005. Jumlah siswa yang mengikuti program ini 153 orang (Paket A & B).

Pelaksanaan Wajardikdas di lingkungan Jakarta Timur pada tahun ajaran 2006 telah berlangsung dua kali ujian nasional, yakni periode Juni dan November. Berdasarkan Berita Acara yang ditandatangani Kepala Seksi Pekapontren Kantor Departemen Agama Jakarta Timur pada periode Juni 2006 disebutkan penyelenggaraan Ujian Nasional bertempat di tiga pondok pesantren, yaitu:

1. Pondok Pesantren Salafiyah Az Ziyadah dengan mengabungkan peserta dari PPS. Darussalam, PPS. Nurul Jannah, PPS. Darul Hikmah, dan PPS. Jauharul Wathan dengan jumlah peserta tingkat ula 55 santri dan tingkat wustha 79 santri;

2. Pondok Pesantren Salafiyah Bamadita Rahman dengan menggabungkan peserta dari PPS. Al Fatonah, PPS. Al Fajru dengan jumlah peserta tingkat ula 24 santri dan tingkat wustha 73 santri;

3. Pondok Pesantren Ulul Ilmi dengan menggabungkan peserta dari PPS. Al Mustaqiim dengan jumlah peserta tingkat ula 24 santri dan tingkat wustha sebanyak 44 santri.

Pada periode selanjutnya, November 2006, berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan UN Wajardikdas 9 tahun Periode Juli 2006 pada Pondok Pesantren di Lingkungan Kandepag Jakarta Timur, disebutkan penyelenggara-an Ujian Nasional bertempat di dua pondok pesantren, yaitu:

1. Pondok Pesantren Salafiyah Darussalam dengan menggabungkan peserta dari PPS. Az Ziyadah dengan jumlah peserta tingkat ula 6 santri, tingkat wustha 23 santri, PPS. Nurul Jannah dengan jumlah peserta tingkat ula 8 santri, tingkat wustha 2 santri, PPS. Darul Hikmah dengan jumlah peserta tingkat ula 3 santri, PPS. Darussalam dengan jumlah peserta tingkat ula 1 santri, tingkat wustha 2 santri, PPS. Jauharul Wathan dengan jumlah peserta tingkat ula 2 santri, tingkat wustha 1 santri. Total peserta yang diikutkan untuk tingkat ula sebanyak 20 santri dan tingkat wustha sebanyak 28 santri;

2. Pondok Pesantren Salafiyah Bamadita Rahman dengan menggabungkan peserta dari PPS. Al Fajru dengan jumlah peserta tingkat ula 7 santri, tingkat wustha 9 santri, PPS. Ulul Ilmi dengan jumlah peserta tingkat ula 4 santri, tingkat wustha 6 santri, PPS. Bamadita Rahman dengan jumlah peserta tingkat ula 3 santri, tingkat wustha 16 santri, PPS. Al Mustaqim dengan jumlah peserta tingkat wustha 3 santri. Total pesera yang diikutkan tingkat ula 14 santri dan tingkat wustha sebanyak 34 santri.

Pelaksanaannya program kesetaraan di beberapa pesantren di atas sangat bergantung pada kesiapan internal pesantren. Pada awalnya Pesantren Al Kennaniyah akan menyelenggarakan program Paket A dan B, namun karena kurang persiapan, siswanya kemudian dialihkan ke Pesantren Az-Ziyadah. Dari tahun ke tahun jumlah peserta yang mengikuti program kesetaraan Paket A dan B meningkat. Hal ini menandakan bahwa program ini memang dibutuhkan masyarakat pesantren salafiyah.

Berdasarkan pendapat staf dinas pendidikan dan staf departemen agama di Kotamadya Jakarta Timur, penyelenggaraan program paket A, B, dan C diselenggarakan oleh kantor departemen agama setempat. Sedangkan pelaksanaannya sekarang sedang berlangsung di Kandepag. Hal ini didasari pada Kesepakatan Bersama antara Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren No 19/E/MS/2004 dan No: DJ: II/166/04.

Secara singkat Kepala Seksi Pekapontren Kandepag Kotamadya Jakarta Timur Drs. H. Syarifudin, MM, menjelaskan prosedur penyelenggaraan pelaksanaan Paket A, B, dan C yakni sebuah pesantren yang memiliki syarat dan persyaratan tertentu mengajukan kepada Kandepag, untuk mendapatkan verifikasi, setelah pesantren dianggap layak maka Kandepag akan mengeluarkan sertifikat, sebagai tanda diperbolehkannya pesantren menyelenggarakan program paket kesetaraan. Kemudian, surat Kandepag kabupaten/kota membertahukan ke Kanwildepag dan Kandepag pusat.

Berdasarkan buku Pedoman Penyelenggaraan Program Paket B pada Pesantren (2006:5) dan Pedoman Penyelenggaraan Program Paket C pada Pesantren (2006:5) yang akan mengajukan sebagai penyelenggara paket kesetaraan adalah:

1. Terdaftar pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dibuktikan dengan Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP);

2. Tersedia tenaga kependidikan, meliputi:

a. Penganggungjawab program

b. Tutor Paket B

c. Tenaga administrasi

d. Nara sumber teknis (NST)

3. Tersedia tempat kegiatan belajar dan kelengkapannya

4. Tersedia calon warga belajar sekurang-kurangnya 20 orang

5. Bersedia dan sanggup melaksanakan program Paket B/C dibuktikan dengan surat pernyataan.

Mekanisme memulai penyelenggaraan program dalam buku yang sama dijelaskan (2006:5-6) dan (2006:5-6), yaitu:

1. Pondok pesantren bersangkutan mendaftarkan diri kepada Kandepag Kabupaten/Kota, dengan tembusan kepada Kepala Dinas Pendidikan pada Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota setempat dalam bentuk proposal. Proposal mencakup tentang:

a. Nama pondok pesantren dan alamat lengkap

b. Nama pemimpin pesantren dan penanggungjawab program (keduanya dapat sama atau berbeda)

c. Nama tenaga administrasi

d. Nama program (program paket B serta SMP/MTs; program paket C serta SMA/MA)

e. Jumlah warga belajar, yang terdiri dari santri pondok pesantren dan warga sekitar

f. Nama lengkap tutor pembimbing pendidikan agama, mata pelajaran bahasa Indonesia, Matematika, Fisika, Biologi, Ekonomi, Sejarah, Geografi, Bahasa Inggris, PPKn, Pendidikan Kesegaran Jasmani, nama narasumber teknis Ketrampilan Fungsional Praktis.

g. Sarana belajar mengajar berupa bangunan untuk kegiatan belajar mengajar secara tutorial.

2. Departemen Agama setempat bersama instansi terkait lainnya akan melakukan verifikasi dan klarifikasi;

3. Selanjutnya Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota mengeluarkan surat pengesahan berupa sertifikat dab ijin kepada Pesantren sebagai penyelenggara paket B/C;Kandepag Kabupaten/Kota melaporkan kepada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi setempat dan Departemen Agama Pusat.

Sementara itu, dalam Pedoman Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C pada Pondok Pesantren dijelaskan beberapa hal penting (2006). Tujuan pembentukan Kelompok Kerja Program Paket A, B, dan C pada pondok pesantren yakni membantu kelancaran pelaksanaan program. Kelompok kerja ini terdiri dari Departemen Agama dan instansi terkait yang bertugas dalam perecanaan, pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi. Mekanisme pembentukan dan penetapan kelompok kerja ini untuk tingkat kabupaten/kota yaitu Kepala Seksi terkait dengan pendidikan kesetaraan dan wajib belajar mengajukan konsep tentang pembentukan kelompok kerja kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, yang selanjutnya Kandepag akan menetapkan pembentukan beserta susunan pengurus (2006:11-12). Keanggotaan kelompok di tingkat kabupaten/kota terdiri dari Seksi yang bertanggungjawab terhadap Pendidikan Kesetaraan dan Wajib Belajar Kandepag dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam buku setebal 32 halaman ini juga memuat tentang permasalahan-permasalahan yang perlu diselesaikan oleh Pokja, antara lain: Pendataan/pemetaan pondok pesantren penyelenggaraan program, sosialisasi program, pemberdayaan pesantren, menjaga otonomi pesantren, manajemen pesantren, kerjasama dengan instansi terkait/lembaga terkait, verifikasi, prosedur penyelenggaraan, kurikulum, ketenagakerjaan, proses belajar mengajar, penilaian hasil belajar, Surat Tanda Lulus dan ijazah, pembiayaan program, keterlibatan masyarakat, sarana pendukung pembelajaran, struktur organisasi pesantren penyelenggara, supervisi, monitoring, dan pelaporan.

Pesantren Al Kennaniyah

Pesantren di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang, dan perannya tak dapat dianggap remeh terhadap perkembangan Islam di nusantara, bahkan di dunia. Sehingga, situasi lembaga pesantren harus dilihat dalam hubungannya dengan perkembangan Islam dalam jangka panjang, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri Islam lainnya. Dan, perkembangan itu terus berlangsung.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat dipandang sebagai tempat yang khusus. Sehingga untuk memahaminya kita dapat menjelaskannya dari unsur-unsur yang mendominasinya. Adapun yang dapat dianggap sebagai unsur utama pesantren: pondok (asrama), masjid, santri, sistem pengajaran, kyai, hubungan dengan dunia luar (baik dengan lingkungan sekitar maupun dengan lingkungan lebih luas), dan manajemen pesantren.

Lokasi

Kelurahan Kayu Putih merupakan salah satu kelurahan dari 65 kelurahan di Kotamadya Jakarta Timur, dengan luas + 437,15 ha, yang secara administratif terdiri dari 17 Rukun Warga (RW) dan 181 Rukun Tetangga (RT). Wilayah yang termasuk Kecamatan Pulo Gadung ini merupakan pusat perdagangan, perkantoran, dan permukiman di Jakarta Timur.

Letak kelurahan ini berbatasan dengan Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Untuk mengunjungi wilayah ini tidaklah susah, baik dari Jakarta Pusat (Pasar Senen) maupun Jakarta Utara (Tanjung Priok). Sedangkan untuk mengunjungi Pesantren Al Kennaniyah pun tidak susah. Dengan menggunakan transportasi umum, perjalanan akan lebih cepat dengan menggunakan Busway koridor II (Harmony-Pulogadung), sedangkan menggunakan angkutan umum, dengan waktu lebih lama, misalnya: jurusan Senin-Pulogadung; Rawamangun-Pulogadung. Petunjuk utama dengan transportasi umu adalah turun di Halte Asmi. Meskipun bukan jalur yang susah untuk dikunjungi, arus jalan di daerah ini merupakan jalur padat. Kemacetan bukan sesuatu yang aneh di jalur menuju pesantren ini, apalagi jam-jam sibuk (pagi atau sore).

Deretan tukang ojek dengan motor-motornya di area parkiran pedagang makanan –sepertinya hampir semua menu makanan ada- adalah pemandangan pertama yang terlihat begitu memasuki jalan masuk Pondok Pesantren Al Kennaniyah. Seperti petunjuk yang diberikan Kyai Abdul Wahid Maryanto, pengelola penting pesantren, dari tempat mangkal tukang ojek terus saja masuk gang. Suasana gang di perkampungan yang hampir semua ada di Jakarta terasa tidak aneh bagi peneliti. Jalan yang tidak rata, ada polisi tidur, tumpukan sampah di pinggir jalan, selokan yang mampet, dan permukiman yang padat seolah adalah pemandangan yang jamak di perkampungan kota metropolis ini. Terang lampu dari bangunan gedung-gedung dan lampu-lampu swadaya masyarakat kampung menjadi penerang utama jalanan, saat malam datang.

Kilas Sejarah

Pada tanggal 27 Juni 1977 para ulama dan tokoh masyarakat kampung Pulonangka, Jakarta Timur, berkumpul, bermusyawarah, dan bersepakat untuk mendirikan sebuah madrasah ibtidaiyah, yang diberi nama Al-Khairaat. Lembaga pendidikan ke-islaman-an ini oleh para penggagasnya diharapkan akan dapat menghidupkan kembali pengajian masjlis ta’lim. Adapun beberapa ulama dan tokoh masyarakat yang bersepakat pada saat itu di antaranya: KH. Moh. Noer, Habib Abdullah Assagaf, H. Ilyas, H. Mugeni, H. Moh. Yasin, H. Husin, Sabilillah, dan lainnya.

Setelah madrasah dan taklim berjalan, tanggal 27 Juni 1981 dibuka madrasah tsanawiyah, serta TK Tunas Cahaya. Berjalan enam tahun lebih, lembaga pendidikan yang didirikan karena keprihatinan para tokoh dan ulama terhadap banyaknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah, pada tanggal 26 Juli 1984 di-badanhukumkan dalam sebuah Yayasan Al-Kenaniyah, yang diambil dari nama seseorang yang memiliki jasa besar dalam perkembangan lembaga pendidikan ini.

Semula, saat awal pendirian, bangunan kompleks lembaga pendidikan ini terdiri dari: ruang belajar dua lantai yang terdiri dari 6 ruang, ruang kantor TK dan MI, musholla, asrama guru, ruang belajar bagi santri pesantren, dan masjid. Pada perkembangan lebih lanjut, 16 Januari 1994, kompleks bangunan bertambah menjadi: ruang kelas, pondok santri, dan pondok guru/pengelola pesantren.

Lokasi pondok pesantren satu-satunya di Kelurahan Kayu Putih ini sangat strategis, mudah dijangkau dengan sarana transportasi umum apa pun. Pintu masuk pesantren tidak berada pada depan tengah kompleks bangunan, tetapi di pinggir kiri, yang bersebelahan dengan pintu gang permukiman warga. Setiap harinya ada petugas keamanan, satu orang. Namun, jika siang hari, pintu masuk ada dua: satunya lagi pintu gerbang madrasah.

Pondok (Asrama)

Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat indah ini nampak terwujud dalam lingkungan pondok pesantren yang terletak di tengah-tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Setiap ruangan selalu nampak bersih dan rapi. Paling tidak ada dua bangunan yang dijadikan pondok (asrama), yaitu untuk santri, untuk pengelola/pengajar putri dan untuk pengelola/pengajar putra. Daya tampung untuk pondok santri kurang lebih 150-an. Sedangkan untuk pondok pengelola dapat menampung kurang lebih 50 orang, untuk putra dan putri. Letaknya ada di belakang bangunan sekolah madrasah, yakni di sayap kiri dan kanan. Dari pintu gerbang, kurang lebih jaraknya 40-50 m.

Nama pondok sama seperti sebutan untuk seluruh bangunan. Dan, di sini kata pondok digunakan secara relatif. Jika kita berada di luar pondok pesantren, maka pondok berarti keseluruhan kompleks bangunan pondok pesantren itu. Namun, jika kita berada di dalam, maka pondok semata-mata merujuk pada bangunan ke dua tadi. Dalam hal ini, menyiratkan yang sebagian atas keseluruhan: bangunan sebagian itu memang mewakili gagasan pondok pesantren secara keseluruhan. Kalau bagian ini dicomot dari keseluruhan tatanan kompleks bangunan pondok Pesantren Al Kennaniyah, ia akan dapat mencitrakan dirinya sendiri sebagai bangunan pondok yang paripurna. Kamar-kamar yang teratur rapi, bersih, yang hampir tidak pernah kosong digunakan, cukup untuk menyatakan bahwa bangunan itu merupakan bagian yang dapat berdiri sendiri. Dalam tatanan spatial, pondok-pondok santri di Pesantren Al Kennaniyah dapat disetarakan dengan rumah-rumah petak yang ada di Jakarta.

Masjid

Salah satu kelengkapan dalam pondok pesantren adalah rumah ibadah, masjid. Bagi kaum muslimin masjid merupakan titik awal dan titik akhir dalam beraktifitas, baik beribadah mahdhoh maupun beribadah mu’amalah. Kehadiran masjid di kompleks bangunan pondok pesantren menjadi tempat mengingat kebesaran sang pencipa (mushola), sebagai tempat belajar (madrasah), dan pusat kegiatan.

Di lingkungan kompleks pondok Pesantren Al Kennaniyah, masjid yang ada bentuknya sangat megah. Daya tampungnya kurang lebih 800 jamaah. Masjid yang diberi nama An-Nuur (cahaya) seolah menjadi tempat penerang bagi masyarakat pesantren dan warga sekitar. Masjid yang berada di depan pintu gerbang, seolah menyiratkan bahwa semua orang boleh mengakses tempat ibadah ini, selalu ramai dengan jamaahnya. Di sisi kanannya terdapat makam, yang selalu saja ada orang yang menjaganya: untuk berdoa maupun membacakan ayat-ayat suci di hadapannya. Masjid ini juga sebagai petunjuk keberadaan pondok Pesantren Al Kennaniyah. Sebelum adanya gedung-gedung tinggi menjulang, menara masjid ini nampak agung dan bersinar, namun seiring semakin sempitnya ruang, dan pembangunan bangunan di Jakarta berorientasi vertikal, menara masjid menjadi tenggelam. Bangunan gedung tinggi yang paling dekat dengan masjid adalah Plaza Summericon.

Santri

Umumnya, jumlah santri yang mondok di pesantren dapat dijadikan ukuran besar-kecilnya sebuah pesantren. Namun, tidak demikian dengan Pesantren Al Kennaniyah. Keterbatasan ruang menjadi alasan utama, jumlah santri berkisar antar 150-an orang, sesuai daya tampung pondok. Santri pesantren di sini dapat dibedakan menjadi dua: santri mondok dan santri tidak mondok. Santri mondok sekarang ini berjumlah 143 orang. Sedangkan santri tidak mondok berkisar antar 100 orang, yang mengenyam pendidikan di siang hari di madrasah, dan pengajian di sore hari. Sedangkan jumlah seluruh murid, campuran santri mondok dengan siswa madrasah, berkisar kurang lebih 1000 murid.

Latarbelakang ekonomi santri mondok adalah kelas ekonomi menengah ke bawah. Para santri umumnya datang dari Jakarta dan sekitarnya. Prosentase santri mondok dari luar Jakarta dan sekitarnya kurang lebih 25%. Jadwal mereka sangat padat, seolah tidak ada waktu yang dibuang percuma. Senin sampai Minggu mereka harus bangun jam 04.30, dan tidur jam 23.00. Mereka tidak diperkenankan nonton TV sebebas-bebasnya. Hanya hari Selasa mereka boleh menonton TV. Hubungan dengan luar seolah sangat terbatas, karena keterbatasan waktu, pun dengan menggunakan alat komunikasi handphone tidak diperkenankan.

Menggunakan pakaian yang menutup aurat adalah wajib di pesantren yang mengkhususkan santri perempuan ini. Tidak ada paksaan dalam menjalani aturan yang ada di pondok, karena hampir semua ditentukan secara musyawarah oleh santri. Seluruh santri selain mendapatkan pendidikan di pondok, juga sekolah di madrasah yang dikelola di bawah yayasan Al-Kenaniyah.

Usia para santri rata-rata seumuran dengan siswa SLTP dan SMU (12-19 tahun). Boleh dikatakan Pesantren Al Kennaniyah menerapkan aturan yang sangat ketat terhadap santrinya. Menurut pengalaman, santri yang tidak kuat dengan aturan yang diterapkan pesantren nantinya akan keluar, baik di tahun ajaran baru maupun pada kelulusan. Sedangkan santri yang sejak lulus sekolah dasar sudah mulai masuk, maka dapat diperkirakan ia akan betah mengenyam pendidikan di pesantren ini sampai lulus SMU (madrasah aliyah).

Kyai

Istilah ulama di dalam masyarakat Islam tradisional sering menyebutnya dengan kyai, bindere, nun, ajengan, atau guru, dan masyarakat Islam modern menyebutnya ustadz. Menurut Pradjarta Dirdjosanjoto, dengan mengutip HAR. Gibb dan JH. Kramers (1953:599-600), pengertian ulama adalah seorang yang dipandang sebagai guru dan ahli agama Islam, yang menguasai beberapa kitab klasik, di lingkungan masyarakat Islam tradisional di perdesaan Jawa. Sedangkan Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Pradjarta Dirdjosanjoto mengategorikan ulama, ditinjau dari fungsi mendidik, ada dua: ulama pendidik di pesantren atau lembaga pendidikan lain dan ulama yang tidak mempunyai lembaga pendidikan. Ulama kategori pertama biasanya juga sering memberikan pendidikan di tempat umum, pengajian akbar. Sedangkan untuk kategori yang kedua, mereka yang mengajar masyarakat secara luas saja, misalnya melalui pengajian umum, yang sering juga disebut sebagai muballigh. Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa ulama mempunyai peran yang sentral di masyarakat Islam, yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia.

Di Pesantren Al Kennaniyah para kyai, baik laki-laki maupun perempuan, yang ada sangat dihormati oleh parasantri maupun masyarakat sekitar. Dan, mereka sering bergaul/berinteraksi dengan masyarakat. Sumber kewibawaan kyai bermacam-macam, yang utama adalah ilmu dan amalannya. Pada tahun ajaran 2006-2007 jumlah mereka ada 20 orang, 13 laki-laki dan 7 perempuan. Sebagian besar kyai di pesantren ini adalah lulusan Pesantren Tebuireng, Jawa Timur. Hampir semua kyai di pesantren ini mengenyam pendidikan umum, dari level D3 sampai S2. dari 20 pengajar, 6 di antara merekat sudah menjalankan rukun Islam ke-5, ibadah haji. Komunikasi diantara mereka sangat intens. Mereka tinggal dalam lingkungan pesantren, untuk pengajar putri sebagian dari mereka tinggal bersama santri. Mereka memperolah konpensasi yang menurut mereka cukup untuk dapat hidup.

Sistem Pengajaran

Secara sistem pengajaran, Pesantren Kenaniyah termasuk menyelenggarakan pendidikan modern: ada jadwal yang teratur dan diajarkan secara masif. Namun, sistem pengajaran sorogan dan bandongan (berdasar weton) juga masih diselenggarakan. Sistem sorogan yang lebih individual, dimana seorang anak/beberapa anak mendapatkan pelajaran khusus untuk mengejar ketertinggalannya. Sistem pengajaran ini biasannya dilakukan pada tahun ajaran baru, terhadap santri yang baru masuk. Dapat diibaratkan sistem sorogan ini seperti matrikulasi. Sistem pengajaran bandongan dilakukan pada hari khusus, dimana seorang kyai membacakan kitab khusus dan menjelaskan per kata. Para santri menyimak dan kadang bertanya. Evaluasi pengajaran diadakan per semester, kadang bentuknya lisan atau tertulis oleh pengajar bidang studi.

Jam pelajaran setiap harinya dimulai dari jam 05.00 – 06.00 pagi, dilanjutkan jam 15.30-17.00, dan dilanjutkan lagi jam 20.00-23.00.

Manajemen Pesantren

Pesantren yang sudah berusia 13 tahun ini keputusan tertinggi diambil melalui majlis kyai. Sebelum mengambil keputusan, para kyai biasanya mendengarkan aspirasi dari pengelola lain dan santrinya. Rapat rutin dilangsungkan minimal dua bulan sekali. Rapat khusus diselenggarakan sesuai kebutuhan. Pertemuan informal di antara kyai sering menghasilkan keputusan-keputusan berkenaan dengan pengelolaan pesantren. Pertemuan informal ini biasanya terjadi ketika ada usulan-usulan dari para santri, ataupun pengelola lain.

Boleh dikatakan administrasi dan manajerial pesantren putri di Jakarta Timur ini telah rapi. Setiap tahun ajaran baru, pesantren ini menerima santri mondok sesuai santri yang keluar pondok. Misalnya, jika yang lulus (SLTP dan SMU) 30, maka tahun ajaran ini menerima santri mondok sejumlah itu. Sebelum masuk, setiap santri dikenakan membayar administrasi. Pada tahun ajaran 2006-2007 santri baru dikenakan membayar administrasi Rp 200.000; SPP bulan Juli 175.000; pakaian Rp 170.000, kamar dan isinya Rp 325.000; kitab Rp 250.000; uang kegiatan Rp 85.000; dan lain-lain Rp 25.000. Namun demikian, karena kebanyakan dari mereka adalah dari keluarga kurang mampu, maka kebanyakan mereka tidak membayar penuh. Kondisi ini memacu pengelola untuk mencari tambahan untuk menutup operasioanal selama setahun. Selain dari santri, opersional pesantren didapatkan dari sumbangan dari donatur, dan koperasi yang ada. Laporan keuangan dibuat setiap tahunnya.

Kerjasama Dengan Kandepag Dan Kandikda

Pesantren Al Kennaniyah sejak peresmian tahun 1992 pernah bekerjasama dengan kandepag Jakarta Timur, namun untuk urusan bantuan yang datangnya dari pemerintah, pengelola pesantren seringnya menolak. Penolakan ini didasari pada tidak diberikannya dana yang seharusnya dialokasikan, seringnya alokasi dana bantuan untuk pesantren dipotong oleh pegawai Kandepag Jakarta Timur. Menanggapi hal ini, pihak Kandepag Jakarta Timur, menggangap pesantren tidak dapat diajak kerjasama. Sedangkan kerjasama dengan Kandikda Jakarta Timur, pesantren yang terletak di tengah-tengah bangunan metropolitan ini tidak pernah terjadi

Minggu, 24 Februari 2008

Pandangan Terhadap HAM, Demokratisasi, Isu Perempuan, dan Pluralisme

Wacana HAM sesungguhnya sudah cukup dikenal masyarakat luas. Betapa tidak, dalam tingkat negara permasalahan yang menjunjung kemanusian ini telah ada regulasi dalam bentuk Undang-undang, di tingkat lembaga negara juga ada Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementrian Kehakiman dan HAM. Bahkan di lembaga non-negara kita tidak asing lagi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sangat menjunjung HAM, yang ada hampir di setiap provinsi di Indonesia.

Senada dengan HAM adalah demokrasi. Wacana yang sudah ada sejak berdirinya bangsa ini pun di masyarakat bukan barang baru lagi. Sedangkan isu perempuan dan pluralisme yang mulai menjadi wacana baru di tanah air pada tahun 1980-an kehadirannya timbul-tenggelam, dan belum begitu mendarah daging di pikiran masyarakat. Namun, keempat isue di atas terasa wacana baru saat bangsa ini memasuki era reformasi. Kehadirannya seolah bagai sesuatu yang hilang dan telah ditemukan kembali, bahkan dianggap sebagai solusi terhadap keterpurukan yang dihadapi bangsa ini.

Di sela-sela melakukan wawancara dengan narasumber yang kompeten dalam penelitian needs assassement ini keempat isue di atas menjadi bagian pertanyaan dan diskusi yang menyegarkan. Dan, benar dua isue pertama ditanggapi senada oleh narasumber. Secara teoritis bangsa ini telah mengambil, namun secara praktik masih jauh dari harapan. Dari beberapa narasumber yang berhasil diwawancarai, dapat para narasumber dapat dikategorikan menjadiempat kelompok. Pertama, mereka tahu wacana baru tersebut, dan melaksanakannya dalam lingkungan dan keseharian mereka. Kedua, mereka tahu wacana baru, namun untuk melaksanakannya belum sepenuhnya. Ketiga, mereka tidak tahu, namun telah melaksanakannya. Keempat mereka tidak tahu dan mereka menentang/tidak melakukannya.

Yang temasuk kelompok pertama adalah masyarakat di lingkungan pesantren: kyai, pengelola, dan santri, serta pengurus RT & RW. Bahkan, boleh dikatakan Kyai Wahid Maryanto adalah seorang guru demokrasi. Ia sering mengikuti acara-acara yang berkenaan dengan isu HAM, demokrasi, dan pluralisme. Jam terbangnya untuk mengkampanyekan isu yang belum sepenuhnya diterima masyarakat Indonesia ini cukup tinggi. Di lingkungan pesantren, lingkungan kecilnya, ia berusaha menerapkan konsep ini: siswa bukan obyek pendidikan, namun siswa adalah subyek pendidikan. Misalnya, siswa diberi kesempatan untuk membicangkan permasalahannya kepada para pengajar dan pengelola, termasuk jika siswa menginginkan fasilitas tambahan, maka untuk memutuskannya dilakukan pembahasan yang melibatkan semua yang kompeten di pesantren.

Sentralistik dalam pesantren ini memang masih terasa, namun dengan pembawaan dan kharisma kyai yang membuka dialog dengan semua kalangan, termasuk santri, hal ini terbawa oleh para pengelola lain dan santrinya. Praktik demokrasi di pesantren ini dilakukan di lingkungan santri misalnya dalam pemutusan lurah santri.

Kelompok kedua adalah para birokrat, baik di lingkungan Kandepag maupun Kandikda Jakarta Timur. Secara prinsip mereka sangat paham akan demokrasi, HAM, isue perempuan, dan pluralisme, namun untuk mempraktrikan tidak sepenuhnya mereka lakukan. Misalnya, Kasi Pekanpontren harus dipegang oleh laki-laki. Sementara di lingkungan Kandikda Jakarta Timur, walau PLS dipegang oleh seorang perempuan namun prinsip-prinsip kesetaraan jender belum sepenuhnya diterapkan. Bahkan, di kedua instansi yang dapat membawa perubahan besar di bidang pendidikan di Indonesia ini nuansa sentralistik (patron-klien) masih sangat kuat. Sepertinya, pemimpin tak bersalah atas apa yang dilakukannya; keputusan teknis pun menunggu dari sikap pemimpin mereka.

Kelompok ketiga adalah para santri pesantren. Seolah mereka terbawa oleh gaya para pengelola pesantren. Saat wawancara, dua santri yang menjadi narasumber memberikan jawaban yang sepenuhnya kurang benar, namun mereka telah melaksanakan demokrasi. Misalnya, pemilihan lurah santri, dan ketua panitia dalam kegiatan-kegiatan tertentu.

Kelompok keempat adalah masyarakat di Kelurahan Kayu Putih. Untuk mewancarai mereka memang tidak sepenuhnya draft pertanyaa peneliti tanyakan, bergantung pada situasi saat itu. Misalnya, seorang bapak yang sedang bermain dengan anaknya, saat itu peneliti tanyakan kemana ibunya. Bapak yang sudah tidak muda itu menjelaskan, ibunya sedang bekerja dan ia bekerja nanti setelah ibunya datang. Mereka bekerja di sektor informal, bapaknya tukang asongan, dan ibunya tukang sapu jalanan. Dari dialog sekilas, peneliti simpulkan keterbatasan ekonomi mereka tidak membuat mereka memahami prinsip kebersamaan, kesetaraan peran laki-laki dan perempuan.

Pengunjung ke

Kontak

ALamat: